Abdul Latief lahir pada tanggal 27 April 1940 di Kampung Baru, Banda Aceh.
Anak keenam dari sembilan bersaudara ini, dibesarkan di tanah rencong itu. Dua
puluh tahun sebelumnya, ayahnya meninggalkan Tanah Minang, dan menetap di Aceh
sebagai pedagang. Ayah dan Ibunya dikenal sebagai aktivis Muhammadiyah di Aceh.
Sayang, ayah Abdul Latief meninggal tatkala ia berumur empat tahun. Dalam
suasana pergerakan mempertahankan kemerdekaan dan perjuangan rakyat Aceh itu,
Abdul Latief dibesarkan oleh ibunya. Karena dibesarkan dalam zaman-zaman
perjuangan dengan suasana politik yang panas, Abdul Latief bercita-cita jadi
politikus di kemudian hari. Namun, ibunya mengarahkan menjadi saudagar yang
bersifat nasional seperti ayahnya. Ibu Abdul Latief adalah juga pejuang hidup,
pada tahun 1950 ia membawa Abdul Latief bersaudara pindah ke Jakarta, berharap
bisa berubah nasib di ibukota. Itulah sebabnya masa Remaja Abdul Latief
diwarnai dengan kehidupan Remaja Betawi. Ia menyelesaikan pendidikan Sekolah
lanjutan pertama dan atas di Jakarta. Ia kuliah di APP kemudian mengambil
sarjananya pada tahun 1965 di Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana,
Jakarta. Selama tahun 1945 dan 1966, situasi politik nasional sedang kacau.
Demonstrasi-demonstrasi memenuhi jalan raya. Abdul Latief mengambil peran
memasok makanan pada demonstran itu. Situasi belum pulih, tapi Abdul Latief
diberi kepercayaan untuk mempelajari manajemen toserba dan supermarket di Seibu
Group, Tokyo. Sebalik pulang Sekolah dari Jepang itu, ia lalu melangsungkan
pernikahannya dengan Nursiah, gadis tetangga di Jakarta, pada tahun 1967.Ada sebagian orang
menyebut Abdul Latief, Dirut Alatief Corporation, masih aktif sebagai tokoh
muda. Padahal, umur pendiri organisasi Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda
Indonesia) itu sudah lebih setengah abad. Setidaknya, ada dua alasan kenapa ia
masih dianggap aktivis Pemuda. Pertama, dalam berbagai kegiatannya, Abdul
Latief selalu terlihat segar dan sangat bersemangat. Kepeloporan dan idealisme
mengangkat pengusaha kecil, terutama yang berkaitan dengan bisnisnya, sering ia
lakukan dengan gaya orang muda yang mampu melihat jauh ke depan. Kedua, Abdul
Latief yang penampilannya setiap hari selalu trendy dan modis ini, sangat gemar berolahraga. Sehubungan
dengan itu, ia juga rajin menjaga kondisi fisiknya, sehingga wajahnya kelihatan
jauh lebih muda dibanding usianya. Abdul Latief memang terkenal lihai menjalin
kerjasama dengan banyak orang. Ia sangat dipercaya oleh mitra bisnisnya. Bahkan,
rekan bisnis di luar negeri pun, mau mengikat kerjasama dengannya, kendati
ikatan itu tidak selalu hitam di atas putih. Lewat Hipmi, Abdul Latief
berhasil mengarahkan sejumlah besar Pemuda untuk menjadi pengusaha. Belakangan,
Hipmi menjadi wadah yang amat digandrungi oleh ratusan pengusaha muda Indoesia.
Banyak di antara para pengusaha muda itu adalah anak para pejabat dan mantan
pejabat. Kesuksesannya mengantar Hipmi sebagai sebuah organisasi profesional,
menyebabkan ia selalu terlibat dalam pembicaraan atau diskusi tentang pembinaan
generasi muda. Baik dalam acara yang diselenggarakan Hipmi, maupun dalam acara
yang diselenggarakan oleh organisasi Pemuda lainnya. Setelah lulus dari Akademi
Pimpinan Perusahaan (APP), Jakarta, dengan Predikat cumlaude, pada tahun 1963,
Abdul Latief mendapat tawaran kerja di Stanvac di Sungai Gerong. Perusahaan
asing yang bergerak di bidang eksplorasi minyak itu, akan memberi penghasilan
dan karir yang baik baginya. Akan tetapi, gurunya di APP, menganjurkannya
bekerja di Pasar Sarinah. Prospek kerja di pasar swalayan milik pemerintah itu,
jauh lebih baik di bandingkan di Stanbac. Sebab, Bung Karno sebagai Presiden RI
saat itu, sangat memberi perhatian untuk mengembangkan toko serba ada yang
pertama di Indonesia itu. Anjuran gurunya itu masuk
akalnya, lalu ia pun bekerja di Pasar Sarinah. Abdul Latief mendapat tugas di
bagian perencanaan. Lewat tugas ini, Abdul Latief berkesempatan berkeliling
mengunjungi beberapa negara, terutama untuk mempelajari perkembangan iklim perdagangan
di negara-negara itu. Singapura, Jepang, Eropa, Amerika menjadi negara yang
dijelajahi pada waktu itu. Tidak lama kemudian ia diangkat sebagai Pimpinan
Promosi Penjualan dan Pengembangan Eksport PT. Departemen Store Indonesia
Sarinah (Pasar Saringah). Ia menimba banyak pengalaman dan pengetahuan. Ia
memiliki relasi bisnis yang cukup luas, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Delapan tahun ia bekerja di Sarinah. Tantangan demi tantangan telah mampu ia
selesaikan dengan baik. Dan, ia ingin mencari tantangan-tantangan yang lebih
memberikan masa depan yang lebih baik baginya. Seolah-olah Pasar Swalayan
Sarinah tidak lagi memberi prospek yang diinginkannya. Konsep pemasaran yang
diambilnya dari Jepang kurang mendapat tanggapan pimpinan Sarinah. Ia pun mengambil
keputusan besar, lalu meninggalkan Pasar Sarinah pada tahun 1971. Selama di
Sarinah, Abdul Latief termasuk beruntung, karena ia sempat disekolahkan ke luar
negeri. Ia belajar manajemen toko serta ada di Jepang selama dua tahun. Pulang
dari sana, ia tidak hanya memiliki ilmu mengolah pasar swalayan, tetapi juga
membawa mobil dan sejumlah uang saku. Dengan modal itu, ditambah relasi
bisnisnya yang sudah sedemikian luas. Apalagi jabatannya sebagai pimpinan
promosi Pasar Sarinah, menyebabkan ia banyak teman dan banyak yang mengenalnya.
Itulah yang mendorong dia untuk mandiri dan buka usaha sendiri.Pada tahun 1971 itu, ia
langsung menjadi eksportir barang-barang kerajinan, yang masih dalam skala
kecil. Sebagian dari modal yang dimilikinya dipakai untuk membeli tanah luas
milik temannya yang sedang butuh duit. Pada tahun yang sama, Abdul Latief juga
mulai mencoba meminjam kredit dari bank dengan jaminan tanah di atas. Kredit
komersial Rp. 30 juta itu diperolehnya dari BDN. Ia mendirikan PT. Latief
Marda Corporation, bergerak dibidang ekspor impor. Ia dibantu adiknya Abdul
Muthalib. Tatkala usahanya sudah mulai memperlihatkan perkembangan, ia pun
berpikir lebih maju lagi. Kebetulan tanah itu terletak di jalan Jakarta By
Pass, sehingga ketika di jual harganya mahal sekali. Hasil penjualan ini yang
kemudian menjadi modalnya mendirikan PT Indonesia Product Centre Sarinah Jaya
pada tahun 1973. Nama pasar swalayan ini ada
kaitannya dengan tempat asal dia bekerja. Nama itu secara historis punya arti
tersendiri bagi Abdul Latief. Setahun kemudian, pasar swayalan milik Abdul
Latief itu berkembang pesat. Ia mondar mandir Jakarta Singapura. Urusannya bukan
hanya soal ekspor-impor, tetapi ia sudah mulai terjun di bisnis properti di
negara pulau itu. Tahun 1975 ia membuka cabang pasar swalayannya di kota itu.
Di sana ia membeli toko dan gedung, harganya tidak semahal sekarang, karena
saat itu Singapura baru mulai membangun negaranya. Akumulasi kekayaan yang
berhasil dia kumpulkan selama sepuluh tahun berusaha secara mandiri, dia pakai
untuk mendirikan Pasaraya di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Gedung Pasar
Swalayan yang masuk kategori mentereng ini, dibangun Abdul Latief pada tahun
1981. Disinilah tonggak pertama yang ditancapkan Abdul Latief untuk mengukuhkan
dirinya sebagai salah seorang pengusaha pedagang eceran yang patut
diperhitungkan. Sebutan konglomerat – sesuatu istilah yang tak disukainya –
sudah mulai melekat padanya. Ia selalu duduk semeja dengan para pengusaha
kenamaan lainnya. Bahkan dengan pimpinan puncak pasar swalayan asal
tempatnya kerja pun, ia sudah terlihat
memiliki perbedaan. Lebih dari pada itu, Abdul Latief mendapat tempat yang
terhormat di mata pemerintah. Sebab, ia mengangkat harga kehidupan dari sekian
banyak pengusaha kecil. Oleh sementara orang ia disebut “Pahlawan pengusaha
kerajinan rakyat Indonesia.” Perjalanan usahanya yang baik itu, rupanya tidak
selamanya mulus. Pada akhir tahun 1984 Pasaraya Sarinah Jaya kepunyaannya di
Blok M terbakar. Inilah percobaan pertama terberat yang dialaminya. Kerugian
yang ia derita bukan hanya puluhan miliar, puluhan ribu pengunjungnya setiap
hari, terpaksa berhenti sampai bangunan itu diperbaiki kembali. Ia tidak ingin putus kontrak dengan 2000 produsen
kecil yang menyuplai keperluannya. Kesulitan ini, ia hadapi dengan tenang, 1200
karyawannya tidak akan diberhentikan, mereka disuruh Abdul Latief belajar
manajemen, komputer, accounting, bahasa Inggris. Untuk program belajar ini,
Abdul Latief mendatangkan pelatih dan pengajar ahli dari Singapura dan Hongkong.
Yang menggembirakan Abdul Latief adalah kesediaan pihak asuransi menanggung
sebagian kerugian itu. Bantuan dari rekan-rekannya, juga dari pihak pemerintah
maupun swasta, sangat menjadi semangat baru bagi Abdul latief untuk memikirkan
yang baik buat ekspansi bisnisnya. Secara perlahan kerugian
puluhan miliar rupiah itu, sirna sebagai gangguan pikirannya. Abdul Latief
menata kembali jalur-jalur bisnisnya yang sudah sempat terputus. Lalu, diatas
tempat gedung yang terbakar, telah berdiri dengan megahnya Pasaraya Sarinah.
Bangunan berlantai sembilan itu luas lantainya 42.000 meter. Pengunjung pasar
swalayan itu, ada sekitar 100.000 orang perhatiannya. 40% diantaranya adalah
yang berbelanja. Dari tahun ke tahun penjualan di Pasaraya Sarinah naik terus.
Dan terus menerus pula memberikan penambahan modal bagi Abdul Latif. Kawasan
Blok M dimana Pasaraya ada, menjadi inceran para pengusaha bisnis eceran.
Banyak konglomerat berlomba membangun fasilitas belanja di daerah itu. Kelompok
Subsentra dan Pakuwon jati sudah membuka Blok M Plaza. Ometraco Group membangun
pertokoan di bawah tanah, persis di bawah bekas terminal Blok M. Itulah
sebabnya, ketika ada tanah seluas 1,4 hektar, dekat Blok M ditenderkan Deplu
kepada para pengusaha tahun 1990, puluhan yang datang mendaftar, kendati
pengumumannya tidak dilakukan secara terbuka.Ada sebagian orang
menyebut Abdul Latief, Dirut Alatief Corporation, masih aktif sebagai tokoh
muda. Padahal, umur pendiri organisasi Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda
Indonesia) itu sudah lebih setengah abad. Setidaknya, ada dua alasan kenapa ia
masih dianggap aktivis Pemuda. Pertama, dalam berbagai kegiatannya, Abdul
Latief selalu terlihat segar dan sangat bersemangat. Kepeloporan dan idealisme
mengangkat pengusaha kecil, terutama yang berkaitan dengan bisnisnya, sering ia
lakukan dengan gaya orang muda yang mampu melihat jauh ke depan. Kedua, Abdul
Latief yang penampilannya setiap hari selalu trendy dan modis ini, sangat gemar berolahraga. Sehubungan
dengan itu, ia juga rajin menjada kondisi fisiknya, sehingga wajahnya kelihatan
jauh lebih muda dibanding usianya.Abdul Latief memang
terkenal lihai menjalin kerjasama dengan banyak orang. Ia sangat dipercaya oleh
mitra bisnisnya. Bahkan, rekan bisnis di luar negeri pun, mau mengikat
kerjasama dengannya, kendati ikatan itu tidak selalu hitam di atas putih. Lewat
Hipmi, Abdul Latief berhasil mengarahkan sejumlah besar Pemuda untuk menjadi
pengusaha. Belakangan, Hipmi menjadi wadah yang amat digandrungi oleh ratusan
pengusaha muda Indonesia. Banyak di antara para pengusaha muda itu adalah anak
para pejabat dan mantan pejabat. Kesuksesannya mengantar Hipmi sebagai sebuah
organisasi profesional, menyebabkan ia selalu terlibat dalam pembicaraan atau
diskusi tentang pembinaan generasi muda. Baik dalam acara yang diselenggarakan
Hipmi, maupun dalam acara yang diselenggarakan oleh organisasi Pemuda lainnya. Cepat
berpikir, gesit dalam bertindak adalah ciri khas Abdul Latief. Pernah suatu
kali, penjualan barang-barang kelontong dalam pasar swalayan kepunyaannya,
naiknya seret sekali. Yang datang banyak, yang membeli sedikit. Lalu, Abdul
Latief mempelajari kenapa demikian. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dan
dari penganalisaan data yang ada, ia berkesimpulan: daya beli masyarakat masih
rendah. Solusinya : daya beli masyarakat harus ditingkatkan. Berarti harus ada
tambahan penghasilan bagi masyarakat. Mulai
saat itu, ia pun mengajak orang untuk berusaha sehingga pendapatan bertambah.
Lalu, Abdul Latif mendirikan Hipmi pada tahun 1972 dan ia menjadi Ketua umum
yang pertama. Ia mengarahkan para anggota Hipmi itu untuk segera membuka usaha,
sekalipun usaha itu dalam ukuran paling kecil. Dari hasil binaan yang
dilakukannya, maka banyak pengusaha kecil memproduksi barang-barang kerajinan
tangan, mencari barang atau produk yang bisa dijual dan jadi uang, sehingga
pendapatan bertambah. Abdul Latief membantu para pengusaha kecil untuk
menitipkan barangnya di pasar swalayan kepunyaannya. Bahkan, Abdul Latief juga
membantu para pengusaha kecil itu mengekspor produknya ke luar negeri. Lewat
langkah-langkah itu, ekspor nonmigas naik. Devisa nasional bertambah,
pertumbuhan ekonomi beranjak naik, tingkat beli masyarakat otomatis jauh lebih
baik dibanding sebelumnya. Komitmen Abdul Latief
membesarkan pengrajin kecil, disamping karena memang dibutuhkan untuk
meningkatkan daya beli masyarakat terhadap produk pasar swalayan, juga untuk
memenuhi permintaan Ir. Ginanjar Kartasasmita, menteri muda urusan peningkatan
penggunaan produksi dalam negeri saat itu, untuk meningkatkan produksi nasional.
Sampai sekarang Abdul Latief masih tetap konsisten terhadap komitmen itu.
Kegiatannya mendorong dan mengembangkan industri kecil itulah, maka ia
dipercaya sebagai Ketua kompartemen perdagangan dan koperasi Kadin Indonesia
periode 1979-1982. Bagi Abdul Latief, adanya kesenjangan antara pengusaha kecil
dan pengusaha kuat, tidak lepas dari adanya perbedaan pengusaha pribumi dan
pengusaha non pribumi di masyarakat kita. Pengusaha pribumi sering diartikan
sebagai pengusaha lemah dan kecil sehingga perlu dilindungi dan diangkat. Ia
melihat perbedaan pengusaha pribumi dan non pribumi sebagai sesuatu persoalan
yang serius. Sehingga ia meminta pemerintah untuk menangani persoalan itu
dengan cepat agar kesenjangan sosial itu tidak menimbulkan gejolak sosial.
Menurut Abdul Latief, pengusaha kecil yang umumnya pengusaha pribumi tidak
perlu diangkat dan dilindungi, tetapi didorong dan dikembangkan. Apalagi pada
era globalisasi ini, negara-negara 4 macan Asia adalah hampir semuanya
non-pribumi. Hal itu dikuatirkan menjadi masalah di kemudian hari, sebab, para
pengusaha dari negara yang maju secara ekonomi itu, pasti akan lebih percaya
menjalin bisnis dengan pengusaha sesama non pribumi. Sehubungan dengan itu,
Abdul Latief melalui makalahnya yang berjudul “Konsep Mendorong dan
Mengembangkan Pengusaha Pribumi,” ia mengajukan 4 dasar langkah pemecahan
masalah tersebut. Pertama, Political
Will pemerintah membantu pengusaha pribumi. Kedua, Konsep yang cocok
untuk mengembangkan usaha pribumi yang sejajar dengan non pribumi, bukan konsep
Alibaba. Bank pemerintah harus memprioritaskan pemberi kredit kepada pengusaha
pribumi. Keempat, semua proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah sepenuhnya
diserahkan kepada pengusaha pribumi. Hal
itu disampaikan Abdul Latief pada Seminar Pribumi dan Non-Pribumi yang
diselenggarakan Editor pada HUT-nya yang ke-4 tahun 1991 yang lalu.Kini, Abdul Latief terus melaju dengan Alatief
Corporation. Makin banyak mitranya makin banyak perusahaan kecil yang dibimbing
dan dimajukannya. Bidang usahanya sudah merebak ke berbagai jenis usaha, tidak
lagi hanya pada bisnis retail seperti yang ditekuninya ketika mulai berusaha.
Dari puluhan jenis usaha, Pasaraya lah yang menjadi tulang punggung bisnisnya
Abdul Latief mengkoordinir pengawasan semua unit usaha itu melalui Alatief
Investment Corporation. Gedung Sarinah Pasaraya di Blok M, Jakarta Selatan,
adalah salah satu pertokoan yang megah di Ibukota. Di gedung berlantai sembilan
itu, terlihat segala macam keperluan rumah tangga. Baju-baju yang trendy dan
modis, mulai dari yang agak murah sampai yang paling mahal, tersedia di supermarket yang nyaman itu. Ribuan
jenis produk kerajinan tagan dari industri kecil / industri rumah tangga sampai
produk-produk elektronik, ada di tempat itu. Dari pagi sampai malam, para pramuniaga
yang ramah selalu menyapa melayani para pembeli di gedung yang bernilai Rp. 200
miliar itu. Abdul Latief menyesalkan berdirinya beberapa pusat pertokoan modern di Jakarta, yang jelas-jelas
mematikan pengusaha kecil dan tradisional. Industri kecil itu sepertinya tidak
mendapat tempat untuk hidup, sebab ia memang tidak mempunyai kemampuan bersaing
dengan pengusaha modal besar. Gejalanya, memang pengusaha sekelas raksasa masuk
ke pasar tradisional. Sehingga pengusaha kecil itu tergusur atau tenggelam.
Mestinya pemerintah mencegah para pemodal kuat itu untuk tidak sembarangan
masuk ke pasar yang pangsa pasarnya merupakan lahan pengusaha kecil. Ketika
salah satu pasar swalayan terbesar di dunia dari Jepang, yaitu SOGO, membuka
cabangnya di Indonesia,
Abdul Latief termasuk salah seorang yang bersuara keras menentang kehadirannya.
Alasan penolakannya, karena saat itu beredar isu
modal asing akan masuk ke bisnis eceran di Indonesia. Ia juga mempertanyakan
kenapa Sogo memasukkan 805 produk impor, justru bukan memajukan produk dalam
negeri. Padahal, jauh sebelum itu, Abdul Latief memang sudah terikat pada
komitmennya untuk memajukan produksi nasional. Menurut pikirannya, pemodal kuat
dalam negeri saja sudah mulai mengganggu kehidupan pengusaha kecil, apalagi kalau
pengusaha yang datang itu dari luar negeri. Bukankah setiap kali Sogo masuk ke
suatu pusat pertokoan, pesaing yang sudah ada biasanya minggir. Tapi ternyata
bukan modal asing, dan pangsa pasar Sogo pun juga tidak sama, akhirnya Abdul
Latief tidak terlalu keberatan lagi. Memang Abdul Latief mempunyai pertokoan di
Blok M, tetapi tidak di pusat pertokoannya. Pasaraya Sarinah menjadi pendukung
Pasar Tradisonal Blok M. Konsep yang dikembangkan Pasaraya, menurut Abdul
Latief, membeli tanah, membangun gedung, dan membuat kavling pasar baru. Kalau masuk ke pusat pertokoan, memang cepat
maju, tetapi itu intervensi namanya, membunuh orang lain, kata Abdul Latief. Dampak konsep yang
dikembangkan Abdul Latief, pasar swalayannya tidak sekencang kemajuan pasar
swalayan bermodal kuat itu. Untuk mengatasi dampak ini, ia melakukan sesuatu
secara kreatif, agar orang mau datang dan akhirnya berbelanja mengembangkan
produk dagangan model yang menarik. Disain baju misalnya, dilakukan dengan mode
dan disain yang paling akhir, persis sama dengan mode yang dikembangkan di
negara-negara yang kaya mode seperti Perancis. Ini tidak terlalu sulit bagi
Abdul Latief, karena ia sendiri juga penggemar model. Itulah sebabnya, setiap
hari, ia selalu tampil dengan busaha yang berdisain menarik. Di segi lain,
disamping keramahan pelayanan, bentuk dan disain ruangan pertokoan menjadi
faktor yang harus diperhatikan penataannya. Menurut Abdul Latief, perusahan
bentuk dan disain ruangan pertokoan, dilakukan terus menerus untuk menghindari
kebosanan para pengunjung. Kalau perlu, sekali dalam tiga tahun, dilakukan
renovasi-renovasi. Melalui penataan pasar swalayan dengan konsep tidak dipusat
perbelanjaan tradisional itu, Abdul Latief mengembangkan tiga macam filosofi.
Pertama, pengusaha kecil adalah bagian dari kemajuan jenis usaha yang berskala
lebih besar. Karena itu, yang kecil memang harus diperhatikan dan diberi tempat
yang wajar. Kedua, pengelolaan pasar swalayan harus selangkah lebih maju dari
keinginan konsumen. Artinya, yang disediakan di pasar swalayan tidak hanya
sekedar yang diinginkan oleh konsumen. Tetapi, apa yang menjadi keinginan
konsumen berikutnya. Dalam hal ini perlu antisipasi, sebab situasi terus
mengalami perubahan dan perkembangan. Ketiga, lewat berbagai jenis produk
dagangan dengan segala inovasinya, dan kreativitas menata produk jualan itu di
pertokoan, serta imajinasi mendesain bentuk ruangan yang menarik, akan
mencerminkan identitas bangsa. Budaya bangsa terlihat dengan mudah melalui
pembuatan dan penjualan produk di pasar swalayan itu.Sukses di pasar swalayan,
ia membuka pembibitan benur di Bulikumba, Sulsel. Usaha itu menghasilkan 100
juta benur pertahun. Abdul Latief juga membuka tambak udang seluas 120 hektar
dengan hasil 4 ton per hektar. Dua sampai tiga kali panen dalam setahun. Ia
mengelola beberapa perkebunan, membuka usaha penerbitan buku, dan usaha jasa
periklanan, asuransi dan berbagai jenis bisnis yang lain. Sambil melakukan
ekspansi bisnis, Abdul Latief juga tertarik pada bidang pendidikan dengan tiga
alasan. Pertama, ia memang membutuhkan sejumlah besar tenaga terampil di
berbagai bidang. Kedua, ia ingin ikut berusaha meningkatkan kecerdasan warga
negara umumnya dan generasi muda khususnya. Ketiga, Abdul Latief adalah pernah
menjadi guru, malah menjadi Direktur Akademi Pimpinan Perusahaan Departemen
Perindustrian, tempat ia belajar. Salah satu Sekolah yang ingin ia dirikan
adalah Sekolah Politeknik. Pendirian Sekolah itu merupakan salah satu kegiatan
dari Yayasan Abdul Latief yang didirikan dan diketuainya sendiri. Dari berbagai
aktivitasnya yang begitu padatnya. Abdul latief selalu berusaha menjaga
kesehatan fisiknya. Setidaknya, ia melakukan general check up dua kali setahun. Secara rutin ia olahraga
joging, senam, renang, teknis, dan kalau ada waktu main golf. Ia selalu
olahraga pagi, terutama untuk menghindari ketegangan-ketegangan. Ia ingin hidup
dalam kondisi segar, fit, energik. Tubuhnya padat, gesit, perut tidak buncit.Itulah Abdul Latief yang
mencatat kesuksesan-kesuksesan selama hidupnya. Mulai dari Predikat tamatan cum
laude di APP, kemudian menjadi pimpinan promosi Pasar Sarinah, keliling
berbagai negara, memberanikan buka usaha sendiri, maju, sukses, lalu gagal,
sukses dan berkembang lagi, sampai menjadi pengusaha yang besar seperti
sekarang ini. Bagi Abdul Latif, sebenarnya masih ada 25 tahun lagi waktu
buatnya untuk berkiprah di duniaIa juga
telah mempersiapkan generasi keduanya untuk melanjutkan dynasty Alatief
Investment Corporationnya. Abdul Latief adalah lambang kesuksesan pedagang di zaman orde baru. Berasal dari salah satu suku yang sudah
terkenal gigih berdagang selama beradab-abad. semoga menjadi inspirasi bagi kita yang sudah pernah jatuh bangun dalam usaha.
Jika ada kesalahan atau kekeliruan dalam penulisan adalah sepenuhnya kesalahan penulis.